Melihat Laut dari Jendela Pesawat Terbang: Tentang Ruang Liminal & Kontemplasi
Note: I don’t usually write in Indonesian, but today words poured out of my mind just like an endless stream – maybe that’s how it feels to be inspired. As a part of my utmost respect for my native language, I will keep it as it is; raw and personal.
“Laut. dari pantainya kamu mungkin hanya akan melihat amukan badai dan ganasnya gelombang, mungkin malah tsunami. Tetapi kalau kamu lihat laut dari angkasa, laut adalah ketenangan yang tak terbatas.” – Agustinus Wibowo (Jalan Panjang untuk Pulang, 2021)
Seperti Agustinus Wibowo di dalam salah satu tulisannya yang sering saya baca berulang-berulang, saya selalu dibuat kagum oleh laut, bahkan saat berada jauh darinya.
Ada satu hal yang sangat saya tunggu-tunggu setiap kali saya bepergian melalui udara: melihat laut dari jendela pesawat terbang. Mungkin awalnya bersifat sepele, karena tentu saja dalam setiap penerbangan gawai seluler tidak diperbolehkan menyala atau harus berada di dalam mode Airplane. Setelah puluhan dan ratusan kali saya terbang, barulah saya menyadari betapa kontemplatifnya untuk “sekedar” memandangi laut dari kejauhan.
Ada sebuah istilah yang baru-baru saja ngetren di kalangan penggemar teori estetika jaman internet: ruang liminal. Ruang liminal berbicara mengenai sensasi & perasaan unik (unik karena perasaan itu seakan-akan saling berlawanan satu sama lain seperti contohnya ngeri dan nostalgis) yang dirasakan audiens ketika berada atau melihat ruang yang didefinisikan sebagai transisi – seperti lorong, ruang tunggu, hingga parkiran mobil di sebuah pusat perbelanjaan.
Saya pun dibuat berpikir – mengendarai pesawat terbang dan memandang laut dari jendela pesawat itu seperti berada di dalam ruang liminal, bukan?
Pertama, kita sedang berada di sebuah peralihan: dari titik A ke B. Dari kota A ke kota B. Dari iklim tropis ke iklim dingin. Dari budaya Timur ke budaya Barat. Dan seterusnya. Terbang dengan pesawat udara adalah layaknya sebuah rite of passage.
Kedua, ada perasaan campur aduk yang kerap saya rasakan ketika melihat warna toska laut Indonesia. Laut yang sepertinya tidak ada batasnya, terlihat sangat tenang. Namun saya teringat waktu saya hampir hanyut dibawa laut saat berenang terlalu jauh dari pantai saat berlibur ke Bali. Atau tsunami yang meluluhlantakkan Asia di tahun 2006 silam. Lalu kembali lagi ke beberapa bulan yang lalu saat saya sekedar bersantai di sebuah beach club sembari membaca buku. Saya hanyut di dalam perasaan yang silih-berganti satu sama lain – satu per satu, perlahan tapi pasti.
Di dalam ruang liminal inilah saya sering terdiam. Saya baru-baru ini sedang tergila-gila dengan Floating Weeds (1959) besutan Yasujiro Ozu yang sarat dengan momen-momen heningnya. Memandang laut dari jendela pesawat terbang itu seperti menonton cuplikan film-film Yasujiro Ozu. Penuh dengan momen sunyi yang awalnya mungkin sulit dicerna oleh saya yang lahir sebagai generasi Y – maklum, film-film arus utama sarat dengan aksi-aksi yang memompa adrenalin. Semakin sering digeluti, saya semakin mengerti inilah cara untuk bercengkrama dengan diri saya dan seisinya.
Di masa yang serba kilat dan instan ini, sulit rasanya untuk menemukan waktu untuk sekedar diam sejenak dan merelakan tubuh ini merasa. Berada di sebuah penerbangan yang bisa dibilang ruang liminal ‘memaksa’ tubuh ini untuk secara apa-boleh-buat diam dan lalu membiarkan jiwa dan pikiran mengambil alih. Merenung sembari memandangi laut dari ketinggian 35.000 kaki seakan-akan memberi kekuatan bahwa pikiran seyogyanya lautan yang dapat ditaklukkan, tergantung dari perspektif mana kita memandangnya.